Pentingnya Nasab dalam Ajaran Islam
Nasab adalah keturunan atau kerabat. Pertalian kekeluargaan
berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah.
Kata nasab di
dalam Al Qur’an disebutkan dalam tiga tempat. Yakni dalam surat Al Mukminun ayat
101;
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ
وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab
di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya” (QS.
Al Mu’minun 101).
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا
وَصِهْرًا ۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia
itu punya keturunan (nasab) dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa” (QS.
Al Furqan 54).
الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا
قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An Nisa 23).
Mengetahui nasab merupakam sesuatu yang sangat penting. Setiap
orang diharuskan memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia.
Karena
tidaklah mudah untuk menjaga nasab sebagai ikatan penyambung keturunan serta
asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya. Bukan persoalan remeh status nasab pada seorang anak.
Dari segi
agama hal ini penting untuk menentukan masalah hukum waris, wali pernikahan, kafaah
(keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan) suami
terhadap istri dalam pernikahan dan masalah wakaf.
Sedangkan dari sisi
kepemerintahan, persoalan ini mampu merusak kestabilan pemerintah. Pemerintah
akan merasa kesulitan menentukan status kewarganegaraanya, karena tidak
jelasnya status orang tua.
Nasab secara etimologi berarti al qorobah (kerabat), kerabat
dinamakan nasab dikarenakan antara dua kata tersebut ada hubungan dan
keterkaitan.
Berasal dari perkataan mereka nisbatuhu ilaa abiihi nasaban
(nasabnya kepada ayahnya). Ibnus Sikit berkata: “Nasab itu dari sisi ayah dan juga ibu”.
Sementara
sebagian ahli bahasa mengatakan: “Nasab itu khusus pada ayah, artinya seseorang
dinasabkan kepada ayahnya saja dan tidak dinasabkan kepada ibu kecuali pada
kondisi-kondisi exceptional”.
Sedangkan nasab menurut terminologi, setelah dilakukan banyak
penelitian pada berbagai referensi dari mahzab-mahzab fiqih yang empat maka
tidak ditemukan tentang definisi terminologi (syar’i) terhadap nasab.
Kebanyakan fuqoha mencukupkan makna nasab secara umum yang digunakan pada
definisi etimologinya, yaitu bermakna al qorobah baina syakhshoin
(kekerabatan di antara dua orang) tanpa memberikan definisi terminologinya.
Makna inilah yang digunakan untuk melegitimasi keberadaan nasab
terhadap seorang tertentu atau tidak ada nasab baginya.
Di antara berbagai
definisi secara umum tersebut ada definisi dari Al Baquri yaitu dia nasab adalah
al qorobah (kerabat) yang artinya rahim.
Lafazh ini mencakup setiap
orang yang ada kekerabatan di antara kamu dengan orang tersebut, baik dekat
maupun jauh, dari jalur ayah atau ibu.
Beberapa peneliti kontemporer berusaha
memberikan definisi nasab dengan makna khusus yaitu kekerabatan dari jalur ayah
dikarenakan manusia hanya dinasabkan kepada ayahnya saja.
Di dalam ilmu nasab ada klasifikasi atau pengelompokan status nasab
seseorang;
1 Shohihun Nasab adalah
status nasab seseorang yang setelah melalui penelitian dan pengecekan serta
penyelidikan ternyata sesuai dengan buku rujukan (buku H. Ali bin Ja’far
Assegaf dan buku induk), yang bersangkutan dinyatakan berhak untuk mendapatkan
buku dan dimasukkan namanya di dalam buku induk
2 Masyhurun Nasab
adalah status nasab seseorang yang diakui akan kebenarannya namun tidak
terdapat pada buku rujukan yang ada. Yang bersangkutan tidak bisa dimasukkan
dalam buku induk. Kebenaran nasabnya didapat dari keterangan kalangan
keluarganya sendiri dan ditunjang oleh beberapa literatur/buku yang dapat
dipercaya, juga diakui oleh ahli-ahli silsilah terdahulu ditambah beberapa
orang yang memang diakui kepribadiannya di masanya
Majhulun Nasab adalah
status nasab seseorang setelah diadakan masa penyelidikan/pengecekan dan
penelitian ternyata tidak didapatkan jalur nasabnya. Ada beberapa kemungkinan
penyebab terjadinya status ini di antaranya karena ketidaktahuan, kebodohan, keminiman
pengetahuan masalah nasabnya ataupun niat-niat untuk memalsukan nasab
4 Maskukun Nasab adalah
status nasab seseorang yang diragukan kebenarannya karena di dalam susunannya
terjadi kesalahan/terlompat beberapa nama. Hal ini dikarenakan terjadinya
kelengahan sehingga tidak tercatatnya beberapa nama pada generasi tertentu
5 Mardudun Nasab adalah
status nasab seseorang yang dengan sengaja melakukan pemalsuan nasab, yakni
mencantum beberapa nama yang tidak memiliki hubungan dengan susun galur nasab
yang ada. Ataupun menisbahkan namanya dengan qabilah tertentu bersandarkan
dengan cerita/riwayat dari seseorang yang tidak memiliki ilmu nasab/individu
yang mencari keuntungan ekonomi secara pribadi. Ada beberapa kemungkinan yang
menyebabkan yang bersangkutan bertindak memalsukan nasab ini sebagai contoh
adalah karena yang bersangkutan hendak melamar syarifah (wanita keturunan
nabi dan rasul) atau pun masalah warisan
6 Tahtal Bahas
(dalam pembahasan), adalah status nasab seseorang yang mana di dalamnya terjadi
kesimpangsiuran dalam susunan namanya. Hal ini banyak penyebabnya, di antaranya
karena yang bersangkutan ditinggal oleh orang tuanya dalam keadaan masih kecil
atau terjadinya kehilangan komunikasi dengan keluarganya atau terjadi kesalahan
dalam menuliskan urutan-urutan namanya. Posisinya nasab ini bisa menjadi
shohihun nasab atau majhulun nasab atau mardudun nasab sesuai dengan hasil
penyelidikan dan pengecekan yang dilakukan
7 Math’unun Nasab
adalah status seseorang yang tertolak nasabnya karena yang bersangkutan
terlahir dari hasil perkawinan di luar syariat Islam. Tertolaknya nasab ini
setelah melalui penelitian dan pengecekan juga dengan ditegaskan oleh beberapa
orang saksi yang dapat dipercaya. Hal ini juga dikenal dengan cacat nasab.
Pandangan Bangsa Arab Terhadap Nasab
Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa
lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya,
dengan jalan mengambil anak angkat.
Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak
kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut
menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang
dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.
Mengangkat seorang anak
seperti ini sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas
jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat memperhatikan dan menjaga
nasab dan hubungan kekerabatan, karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka.
Makanya mereka selalu mengaitkan nama mereka dengan bapak, dan kakek-kakek
mereka ke atas. Oleh karena itu dalam nama mereka pasti ada istilah bin atau
Ibnu yang artinya anak.
Nabi kita Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam mengetahui nasabnya sampai
beberapa generasi sebelumnya.
Nasab beliau adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin
‘Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdul- Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin
Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin
Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Bukan hanya Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam yang seperti itu, hampir seluruh
orang-orang Arab mengetahui nasabnya masing-masing sampai beberapa generasi
sebelumnya.
Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan di antara mereka sangat
kuat. Allah menjadikan mereka sebagai contoh untuk diteladani.
Lalu bagaimana
dengan bangsa-bangsa lain dan bangsa kita yang kebanyakan mengetahui hanya
sampai kakek dan buyut saja? Akibat pengetahuan nasab yang terbatas ini maka efeknya sangat
memprihatinkan.
Di antaranya tidak mengetahui saudaranya yang jauh, menganggap
bahwa dirinya tidak punya saudara, tidak mendapat bantuan dan pertolongan bila
dirinya mengalami kesengsaraan, tidak punya tempat untuk mengadu dan meminta
pertolongan kecuali orang lain.
Akhirnya ujung-ujungnya timbullah kemiskinan, jadi
gelandangan, dan lain sebagainya. Padahal seandainya mereka mengetahui nasab
mereka siapa tahu bahwa direktur perusahaan di samping gubuknya adalah
saudaranya dari buyut kakeknya.
Cara Menentukan Nasab Pada Masa Nabi
Pada rasul dan zaman sahabat untuk menentukan hubungan nasab yakni
dengan melihat dari perkawinan yang sah orang tua anak atau orang tersebut.
Seorang laki-laki dan perempuan yang menikah dan melahirkan seorang anak, maka
secara otomatis anak itu dinasabkan kepada kedua orang tuanya dengan catatan
tidak ada pengingkaran oleh si suami.
Misalnya jika seorang istri melahirkan anak yang berkulit hitam
padahal kedua suami istri tersebut berkulit putih atau sebaliknya, maka di sini
ada dua pendapat.
Pertama sang suami boleh tidak mengakui anak tersebut, yaitu karena
faktor kemiripan. Kedua suami tidak boleh menolak anak itu, karena mungkin ada
kelainan atau penyakit pada anak itu.
Dalam masalah ini bisa di bantu oleh seorang Qafah, yakni orang
yang tahu menetukan nasab berdasarkan kemiripan jasmaniah. Selain itu juga
digunakan sistem al qiyafa, yakni menurut penglihatan setelah melihat
bagian-bagian pada bayi yang baru lahir serta melihat ciri-ciri jasmaniah anak
tersebut.
Salah satu contohnya atau yang saat ini telah di-qiyas-kan adalah
dalam bentuk sidik jari. Melalui sidik jari tersebut, seseorang ditentukan
bahwa inilah sebenarnya hubungannya. Selain kedua cara di atas, Islam juga
menggunakan persaksian dan pengakuan (iqrar) untuk menentukan nasab seseorang.
Istilhaq/lahiqa atau iqraru bin nasab dipergunakan untuk pengakuan
anak atau pengesahan anak, di mana alasan utama dari pengakuan atau pengesahan
itu ialah karena ada hubungan darah antara yang mengakui dengan anak yang
diakui.
Pengakuan anak/pengakuan nasab itu ada dua macam;
Yakni pengakuan anak oleh diri sendiri/pengakuan anak langsung dan
pengakuan anak oleh orang lain. Pengakuan anak oleh diri sendiri adalah jika
seseorang menyatakan bahwa anak ini adalah anaknya, atau orang itu adalah
ayahnya. Menurutnya, pengakuan seperti itu dapat diterima dengan empat syarat.
1. Anak yang
diakui tidak diketahui nasabnya. Jika diketahui nasabnya maka pengakuan itu
batal, karena tidak diperbolehkan memindahkan nasab seseorang pada nasab orang
lain. Dalam hadis disebutkan;
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا
يَعْرِفُهُ أَوْ جَحْدُهُ وَإِنْ دَقَّ
“Telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yahya]; telah menceritakan kepada kami
[Abdul Aziz bin Abdullah]; telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Bilal]
dari [Yahya bin Sa’id] dari [Amru bin Syu’aib] dari [Ayahnya] dari [Kakeknya]
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Seseorang menjadi kufur lantaran
mengaku bernasab pada seseorang yang tidak ia kenal, atau mengingkari nasab
yang sebenarnya, sekalipun ia telah menelitinya” (HR. Ibnu Majah No. 2734).
Dalam
hal objek pengakuan anak adalah anak dari ibu yang di-lian (anak li’an), maka ulama sepakat tidak
perlu syarat ini, dan anak li’an tidak boleh diakui sebagai anak kecuali oleh
ayah yang meli’an, karena dalam hal ini dia dianggap mencabut pernyataannya
yang tidak mengakuinya sebagai anak.
2. Pengakuan anak
tersebut adalah pengakuan yang masuk akal/logis, tidak bertentangan dengan akal
sehat, seperti perbedaan umurnya wajar, atau tidak bertentangan dengan
pengakuan orang, dan sebagainya.
3. Anak yang
diakui menyetujui atau tidak membantah, jika anak yang diakui itu sudah cukup
umur untuk membenarkan atau menolak (baligh dan berakal sehat). Demikian
pendapat jumhur ulama. Tetapi menurut mazhab Malikiyah, syarat ini tidak
diperlukan, karena nasab adalah hak anak kepada ayahnya, karena itu pengakuan
anak tidak memerlukan persetujuan anak, sepanjang tidak terbukti pengakuan itu
dusta atau tidak benar.
4. Pada anak
tersebut belum ada hubungan nasab dengan orang lain. Artinya, jika pengakuan
anak itu diajukan oleh seorang istri atau seorang perempuan ber-iddah, maka
disyaratkan adanya persetujuan dari suaminya tentang pengakuan itu.
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam sendiri pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin
Haritsah sejak zaman jahiliah.
Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan
sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh
Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya
diberikan oleh Khadijah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka
minta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam, tetapi oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam disuruh memilih.
Namun Zaid lebih senang
memilih Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam sebagai ayah daripada ayah dan pamannya sendiri.
Lantas oleh Nabi Muhammad dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang
banyak. Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk
pertama kali bekas hamba yang memeluk Islam.
Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah
suatu pemalsuan terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang
terasing dari lingkungan keluarganya.
Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan
keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu
sama sekali orang asing.
Istri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri,
begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri
sebenarnya orang asing dari semuanya itu.
Justru itu Al Qur’an menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk
selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya. Firman Allah;
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ ۚ وَمَا
جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ ۚ وَمَا جَعَلَ
أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ
وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja.
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)”
(QS. Al Ahzab 4).
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا
آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab 5).
Persoalan ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak angkat sudah
menjadi aturan masyarakat dan berakar dalam kehidupan bangsa Arab.
Oleh karena
itu dalam kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh
perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan dihapusnya dengan omongan
dan sekaligus dengan praktik.
Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah
dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy sepupu nabi sendiri.
Tetapi karena
kehidupan mereka berdua selalu goncang dan Zaid sendiri sudah banyak mengadu
kepada nabi tentang keadaan istrinya, sedang Nabi sendiri juga mengetahui
keinginan Zaid untuk mencerainya, dan dengan wahyu Allah, Zainab akan dikawin
oleh Nabi, tetapi kelemahan manusia tempo-tempo sangat memengaruhi, maka nabi
takut bertemu dengan orang banyak. Oleh karena itu dia katakan kepada Zaid:
“Tahanlah istrimu itu dan takutlah kepada Allah”.
Di sinilah ayat Al Qur’an kemudian turun untuk menegur sikap nabi.
Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk tampil ke
tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan tradisi yang
sudah usang yang mengharamkan seseorang mengawini bekas istri anak angkatnya
yang pada hakikatnya dia adalah orang asing itu. Maka berfirmanlah Allah;
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ
عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا
اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا
قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ
وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah
terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah” sedang kamu menyembunyikan di dalam
hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS. Al Ahzab
37).
Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam; yaitu seorang
menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang
lain.
Anak tersebut dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya
berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul, menjadi mahram, haram dikawin, dan
berhak mendapat waris.
Cara Menentukan Nasab Pada Masa Modern
Menentukan nasab pada masa modern seperti sekarang selain dengan
melihat anak yang lahir dari perkawinan yang sah juga bisa dilakukan dengan tes
DNA (deoxyribo nucleic acid).
Tes deoxyrebose nucleic acid (DNA) bukan wacana
baru dalam lapangan sains. Tapi bila persoalan itu diusung dalam konteks
agamawi, tentu akan menjadi hal yang sangat menarik.
Dalam hal ini terdapat
perbedaan di antara para ulama, yakni ada yang memperbolehkan dan ada yang
tidak memperbolehkan.
Oleh sebab-sebab tertentu, istilah pembuktian anak kandung sering
dimuat di media cetak, dan tidak asing
lagi di masyarakat namun sangat sedikit orang mengenal jelas hal ikhwalnya.
Pembuktian anak kandung melalui tes DNA berdasarkan teori dan praktik ilmu genetika
umat manusia, kecirian mirip di bidang struktur bentuk dan fungsi fisiologi
dari generasi filial dan generasi parential, mengadakan analisa terhadap
kecirian keturunan, mengadakan pemastian terhadap hubungan kandung yang
mencurigakan antara bapak dan anak atau ibu dan anak, dan pada akhirnya
mengambil kesimpulan apakah betul atau tidak.
Cara pembuktian anak kandung dari ilmu forensik sebagai berikut,
pembuktian melalui tipe darah, perbandingan melalui ciri wajah, pemeriksaan
terhadap kurai atau barik-barik kulit, pemeriksaan penyakit keturunan,
perbedaan corak, serta membuat inferensi terhadap stadium pembuahan, periode
melahirkan dan kemampuan reproduksi.
Tes DNA itu merupakan penemuan pada ilmu
kedokteran (medis) terkini. Sebab pada rasul dan zaman sahabat belum dikenal
istilah seperti itu. Yang ada pada saat itu adalah sistem al qiyafa, yakni
menurut penglihatan setelah melihat bagian-bagian pada bayi yang baru lahir.
Dan salah satu contohnya atau yang saat ini telah di-qiyas-kan
adalah dalam bentuk sidik jari. Melalui sidik jari tersebut, seseorang
ditentukan bahwa inilah sebenarnya hubungannya.
Dalam tes DNA akurasi tingkat
kebenaran sudah mencapai 99,9 persen, dan bisa dijadikan sebagai penetapan
bahwa seseorang itu memiliki hubungan dengan yang lain.
Oleh karena itu, dalam
penetapan masalah DNA tersebut, khususnya masalah ilhaqu al nasab (hubungan
nasab/keturunan), maka berdasarkan hasil tes DNA bisa dijadikan sebagai bagian
yang akan mendukung boleh tidaknya seseorang itu diakui sebagai nasab.
Terdapat dua pendapat, yakni dengan hasil tes DNA itu seseorang
bisa dinasabkan secara biologis. Artinya yang bersangkutan memiliki hubungan
biologis dengan orang tertentu.
Tetapi dari segi syar’i, apakah yang
bersangkutan tersebut merupakan anaknya atau tidak, hal itu tidak bisa
semata-mata berdasarkan hasil tes DNA.
Sebab, dalam menentukan keturunan
seseorang itu sah atau tidak, amat terkait dengan proses perkawinan. Seseorang
itu diakui dan dianggap sebagai anak yang sah, dan memperoleh hak-haknya dalam
waris, apabila ia lahir dari hasil pernikahan yang sah.
Oleh karena hasil tes DNA hanya menentukan hubungan keturunan itu secara biologis saja, dan tidak
diketahui secara syar’i hubungan tersebut sah atau tidak, maka hal itu tidak
bisa serta merta bisa ditentukan sebagai dasar hukum bahwa yang bersangkutan
memiliki hubungan yang sah dengan orang lain.
Maka, selain melalui tes DNA itu,
masih dibutuhkan sekian informasi lainnya untuk menetapkan bahwa yang
bersangkutan itu memiliki hubungan dengan orang lain, seperti melalui
penyaksian dan lain sebagainya.
Sedang tes DNA itu hanya merupakan salah satu
bagian saja dari informasi yang banyak tersebut.
Jadi hal itu belum bisa
diputuskan bahwa yang bersangkutan itu merupakan nasab si A atau si B secara
sah (syar’i), sedangkan secara biologis bisa saja hal itu dinasabkan.
Kesaksian yang didapat berdasarkan syariat yaitu kesaksian dari dua
orang laki-laki, beragama Islam, sehat rohani, mampu berfikir, dikenal
keadilannya.
Khusus untuk syarat dua orang saksi yang adil, ia menyaksikan
bahwa benar anak itu adalah anak kandung orang tuanya, atau menyaksikan bahwa
anak itu adalah hasil dari perkawinan yang sah, atau menyaksikan bahwa anak itu
sudah dikenal dan tidak diragukan lagi oleh masyarakat bahwa ia adalah anak
kandung orang tuanya.
Di samping itu kesaksian dapat juga melalui ketetapan
atau keputusan dalam majelis hukum yang menyatakan bahwa anak tersebut benar
anak kandung dari orang tuanya.
Tes DNA itu hanya merupakan salah satu alat untuk bisa mengetahui
bahwa yang bersangkuta itu memiliki hubungan atau tidak memiliki hubungan
dengan yang lain (menafikan).
Jadi bukan untuk menentukan bahwa dia memiliki
hubungan dengan yang lain atau menisbatkan. Dalam salah satu hadis disebutkan
bahwa al waladu li al-firasy, artinya anak keturunan itu, harus berdasarkan
hubungan suami istri yang sah.
Jadi tes DNA hanya untuk lebih menguatkan
(qorinah) saja. Dan dalil ini sudah sangat tegas menjelaskan masalah tersebut.
Sedangkan dari segi kajian usul fikihnya, hal itu dikhawatirkan
akan menimbulkan kerancuan dalam masalah nasab.
Sebagaimana salah satu kaidah
usul fikih yang menyatakan, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al mashalih,
menolak sesuatu yang akan menimbulkan kerusakan harus lebih didahulukan
daripada menarik sedikit kemashlahatan.
Jadi karena dianggap akan mengaburkan
permasalahan nasab, maka tes DNA boleh dilakukan sebagai qorinah atau
menguatkan masalah tersebut, tetapi tetap tidak bisa dijadikan sebagai nasab
syar’i.
Karena selain masih banyak informasi lain yang harus dibutuhkan untuk
menetapkan masalah ini, juga harus dibuktikan dengan nasab syar’i, yakni
melalui pernikahan yang sah.
Jadi pada intinya ulama yang tidak setuju berpendapat pada zaman
nabi memang belum ada teknologi DNA. Penentuan nasab dalam hukum Islam hanya
bersumber dari pernikahan yang sah, persaksian, dan pengakuan.
Menurut ulama
yang menolak menjadikan hasil uji DNA sebagai sumber baru penentuan nasab
seseorang, berdasar pada dalil ini.
Sedangkan yang setuju dengan tes DNA
sebagai salah satu cara menentukan nasab berkata bahwa pada zaman nabi, ada
hadis yang menyatakan soal qo’if, yaitu orang yang bisa memprediksi secara
akurat bahwa seseorang masih punya nasab dengan orang lain hanya berdasarkan
bekas tapak kaki mereka.
Dalil tentang qo’if ini yang kemudian dijadikan
rujukan kiai-kiai yang menerima tes DNA sebagai sumber baru.
Urgensi Nasab dalam Islam
Bicara tentang hak anak dalam Islam, pertama sekali secara umum
dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai dharuriyatu khamsin (hak asasi dalam
Islam).
Hak itu adalah lima hal yang perlu dipelihara sebagai hak setiap orang:
1. Pemeliharaan atas hak beragama (hifdzud dien); 2. Pemeliharaan atas jiwa
(hifdzun nafs). 3. Pemeliharaan atas akal (hifdzul aql); 4. Pemeliharaan atas harta
(hifdzul mal);5. pemeliharaan atas keturunan/nasab (hifdzun nasl) dan kehormatan
(hifdzul ‘ird).
Jika merinci hak-hak anak yang diperolehnya dari orangtua atau
otoritas lain yang menggantikan orangtua, maka kita akan dapati bahwa hak-hak
tersebut merupakan penjabaran dari Dharuriyatu Khamsin tadi.
Misalnya hak anak
untuk mendapatkan nama dan keturunan nasab maka itu ada dalam pemeliharaan atas
nasab dan kehormatan, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dapat
dimasukkan ke dalam pemeliharaan atas agama (mendapatkan pendidikan akhlaqul
karimah) dan pemeliharaan atas akal, dan seterusnya.
Sebagaimana kita ketahui,
kehormatan seseorang seringkali dikaitkan dengan keturunan siapakah dia.
Jika seorang anak dikenal sebagai anak tak berbapak, maka hampir
pasti ia akan mengalami masalah besar dalam pertumbuhan kepribadiannya kelak
karena ketidak jelasan status keturunan.
Demi menjaga hal tersebut, Islam
melarang seseorang menghapus nasab/nama keturunan dari ayah kandungnya.
Selain
masalah psikologis dan perkembangan kepribadian anak, masalah nasab atau
keturunan juga berkaitan dengan muharramat yaitu aturan tentang wanita-wanita
yang haram dinikahi (dianggap incest/menikah seketurunan).
Dalam tata hukum Islam (Fiqih), masalah ikatan darah atau keluarga
menjadi masalah yang mempunyai dampak luas, karena dari tes itulah bisa
diketahui nasab (keturunan keluarga atau silsilah).
Silsilah tidak hanya
berdampak pada masalah generatif semata, namun juga berdampak pada masalah
hukum dan sosial.
Peringatan keras bagi orang-orang yang dengan sengaja
menyembunyikan siapa ayahnya dan mengetahui nasabnya, namun dia sengaja
menyembunyikannya atau mengingkarinya, dikarenakan perbuatan tersebut
(menyembunyikan nasab) bisa mengakibatkan pencampuran mahram, terputusnya hak
waris, memutuskan hubungan kekerabatan dan lain-lainnya.
Di dalam hukum Islam, nasab mempunyai peran yang sangat penting.
Dengan jelasnya status nasab seseorang, hukum-hukum yang berkait dengan hal ini
juga akan jelas.
Semisal tentang perkawinan. Dengan kepastian bahwa seorang
laki-laki mempunyai ikatan darah dan masih menjadi muhrim seorang perempuan,
haram hukumnya bagi kedua orang ini untuk melakukan perkawinan.
Atau untuk menentukan apakah seseorang itu berhak mendapat warisan
dari orang yang telah meninggal. Kepastian nasab mempunyai peran yang sangat
vital, sebab dalam hukum Islam waris sudah diatur dengan tegas.
Namun,
mobilitas yang tinggi dari masyarakat, bisa membuat dua orang bersaudara yang
masih muhrim tidak saling kenal. Bisa karena jarak yang memisahkan atau karena
alasan lain sehingga mereka memang tidak saling kenal.
Sedangkan di antara kegunaan mempelajari ilmu nasab adalah pertama,
mengetahui nasab nabi Muhammad yang merupakan suatu keharusan untuk sahnya
iman.
Ibnu Hazm berkata; di antara tujuan mempelajari ilmu nasab agar seseorang
mengetahui bahwasanya nabi Muhammad diutus oleh Allah kepada jin dan manusia
dengan agama yang benar, Dia Muhammad bin Abdullah Al Hasyimi Al Quraisy lahir
di Makkah dan hijrah ke Madinah. Siapa yang mempunyai keraguan apakah Muhammad itu
dari suku Quraisy, Yamani, Tamimi atau Ajami, maka ia kafir yang tidak mengenal
ajaran agamanya.
Kedua, sesungguhnya pemimpin itu berasal dari suku Quraisy. Berkata
Ibnu Hazm: Dan tujuan mempelajari ilmu nasab adalah untuk mengetahui bahwa
seseorang yang akan menjadi pemimpin harus anak cucu Fihr bin Malik bin Nadhir
bin Kinanah.
Ketiga, untuk saling mengenal di antara manusia, hingga kepada
keluarga yang bukan satu keturunan dengannya. Hal ini penting untuk menentukan
masalah hukum waris, wali pernikahan, kafaah suami terhadap istri dalam
pernikahan dan masalah wakaf.
Dari Abu Dzar Al Ghifari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;
بَاب حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْحُسَيْنِ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَعْمَرَ
أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدِّيلِيَّ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ
مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنْ
ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Telah bercerita kepada kami [Abu Ma'mar] telah bercerita kepada
kami [‘Abdul Warits] dari [Al Husain] dari [‘Abdullah bin Buraidah] berkata,
telah bercerita kepadaku [Yahya bin Ya'mar] bahwa [Abu Al Aswad ad-Dayliy]
bercerita kepadanya dari [Abu Dzarr Radhiallahu ‘anhu] bahwa dia mendengar Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Tidaklah seorang mengaku sebagai anak dari
bukan bapaknya padahal dia mengetahuinya melainkan telah kafir dan siapa yang
mengaku dirinya berasal dari suatu kaum padahal dia bukan dari kaum itu maka
bersiaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari No. 3246).
Dari sisi ini tampak jelas sekali bukti betapa pentingnya untuk
mengenal atau mengetahui nasab seseorang itu, sehingga berusaha untuk
mempelajari masalah yang berkenaan dengan nasab tersebut wajib hukumnya, minimal
fardhu kifayah.
Dan yang perlu diingat bahwa untuk menjaga kemurnian nasab
tidak ada cara lain selain melalui perkawinan yang sah. Nasab secara etimologi
berarti al qorobah (kerabat), kerabat dinamakan nasab dikarenakan antara dua
kata tersebut ada hubungan dan keterkaitan.
Sedangkan nasab menurut terminologi
fuqoha mencukupkan makna nasab secara umum yang digunakan pada definisi
etimologinya, yaitu bermakna al qorobah baina syakhshoin (kekerabatan di antara
dua orang).
Bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat memperhatikan dan menjaga
nasab dan hubungan kekerabatan, karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka.
Makanya mereka selalu mengaitkan nama mereka dengan bapak, dan kakek-kakek
mereka ke atas.
Pada zaman rasulullah cara menentukan nasab dapat dilihat dari
adanya perkawinan yang sah, pengakuan dan persaksian juga termasuk al qiyafah.
Sedangkan di zaman yang modern sekarang juga terdapat tes DNA yang digunakan
dalam menentukan nasab seseorang.
Dan perlu diingat untuk menjaga kemurnian
nasab hanya dilakukan dengan perkawinan yang sah. Wallahu A’lam Bish Shawab.